Translitor.

Sponsor,

Konsep Shiva Lingam ( Tri Purusa).

  

KONSEP TRI PURUSA.

Pura Gumang, Gianyar, Bali.

Tri Purusa di dalam Shiva Linggam.

Tri Purusa di dalam Shiva Linggam terdapat pada tiga posisi yang memiliki guratan khusus pada batang Linggam yang antaranya Parama Shiva berada pada bagian ujung Linggam, Sada Shiva Linggam berada pada bagian tengah Linggam yang umumnya di Bali berbentuk segi delapan, dan pada bagian dasar Linggam berbentuk segi empat merupakan simbol Siva atau Siwaatma. Kekuatan yang tak nampak dan perwujudan yang tidak bisa di bayangkan sekaligus tanpa wujud dan yang mahakuasa di sebut dengan Parama Shiva atau dimana keadaan Tuhan yang tanpa aktifitas dan berada dimana-mana. Parama Shiva (Tuhan yang tertinggi) juga identik dengan Parama aatma (atma yang tertinggi) bahkan juga identik dengan Paramesvara mengarah kepada Tuhan yang tidak berwujud, sedangkan keadaan sebaliknya yaitu Tuhan yang berwujud.
Buana Kosa, I. 19,
 “Tan kareketan mala, tan palwir, tan pagatra, wypaka, yonggwan Sang Hyang Astasiwa, tar pacala, wisesa ya”,
(Tanpa dosa, tanpa wujud, tanpa rupa, tetapi menguasai atau memenuhi alam. Itu tempat bersemayam Sang Hyang Astasiwa, sangat utama tanpa cela).

Pada kutipan dari lontar buana kosa menyatakan kemahakuasaan dari Hyang Shiva sebagai penguasa alam dan memenuhi segala tempat dan hal ini dinyatakan pada bait awalanya yang menyatakan tanpa dosa, perwujudan, rupa atau wajah namun selalu berada di mana-mana yang disebutkan dengan menguasai atau memenuhi alam, maka dari itu pada sloka ini sesuai dengan konsep Tri Purusa pada bagian Parama Shiva. Sedangkan teks lanjutan pada sloka itu menyatakan keadaan perwujudan dari Astasiwa atau delapan Shiva. Astasiwa juga Astamurti yang terdapat dalam Lingga Purana adalah: 
·        
           Bhava (Keberadaan, Penciptaan),
·         Sarva (Semua atau menyeluruh),
·         Rudra (penghancur penderitaan),
·         Pasupati (Tuhan dari semua makhluk),
·         Ugra (yang Menakutkan),
·         Mahadewa ( dewa dari para dewa),
·         Bhima (yang besar dan kuat),
·         Isana (Penguasa semua arah)

Inilah nama-nama beliau yang memiliki arti mengkhusus untuk menjabarkan kemahakuasaan dari perwujudan Parama Shiva. Delapan nama identik dengan nama dari cerita kelahiran Rudra dan cerita yang lebih sesuai dengan nama-nama diatas terdapat di dalam Markandeya Purana.  Diceritakan bahwa dengan keinginan Brahma untuk mempunyai anak yang menyerupai dirinya. Untuk mencapai tujuan tersebut, Brahma pergi bertapa. Tengah bertapa, tiba-tiba muncul seorang anak laki-laki berkulit merah kebiru-biruan menangis dipangkuannya. Ketika ditanya mengapa, anak itu menjawab bahwa ia menangis karena minta nama. Brahma memberidengan nama Rudra. Namun, ia tetap menangis dan meminta nama lagi. Itu dilakukannya hingga tujuh kali, sehingga Brahma memberi tujuh nama, masing-masing Bhawa, Sarwa, Isana, Pasupati, Bhima, Ugra, dan Mahadewa, di samping Rudra. Kedelapan nama itu adalah nama-nama aspek Siwa dalam kelompok Murtyastaka. Kisahyang sama terdapat dalam Wisnu-Purana.

Buana Kosa. II. 14,
 yaitu “Na rupam (ia yang tanpa rupa), na warnnam (tanpa warna), na rasam (tanpa rasa), na gandham(tanpa bau), na sabdam (tanpa suara), asparam (tak teraba), anamayam (tak terkena sakit), acintyam (tak terpikirkan), anadi madhyantam (tanpa awal, tanpa pertengahan, tanpa akhir, tanpa batas), asangkirnnan (tak tercampur), agatham (tanpa wujud), aracanam (tanpa rupa dan warna), adwityam (tak ada yang melebihi dalam hal keunggulan), na calitam (tak goyah), alinggakam (tanpa lingga), acyutam (tak susut), aksayam (tidak berkurang), anirgatam (tanpa perbuatan), aspreham (tanpa keinginan), agarbbhajanma maranam (tidak lahir dari kandungan dan tanpa kematian), arogam (tanpa sakit), asokam (tanpa susah), awedhanam (tanpa penderitaan), asangsaram (tanpa sangsara), nirmalam (tanpa noda), na kalam (tanpa waktu), na kasam (tanpa angkasa), nasamwatsara (tanpa tahun, tanpa musim, tanpa bulan, tanpa siang dan malam), asandhyangsam (tanpa senja kala), na muhurta (tanpa kurun waktu), na welakastam (tanpa matahari berjalan kearah utara, tanpa matahari berjalan di tengah-tengah), nadaksinayanam (tanpa matahari berjalan di garis Khatulistiwa), animepyam (tanpa kerdip, tenang), sunyam (sepi), dhyawan (selalu ingat), waran (utama), satyam (setia), witam (sangat sepi dan hampa), swaccam (bersih), kewalyam (hampa), nirasrayam (tanpa bantuan atau perlidungan), Siwam (ia juga disebut Siwa), moksam (ia itu kebebasan yang sejati), nirasradham (tanpa iri hati), nirbanam (itu nirwana), Param Brahma (ia adalah Brahma tertinggi), nirakaram (tidak dapat diumpamakan), na bhaya (tidak terkena bahaya), amretam (tanpa kematian), etam brahmani (demikian wujud alam Brahman).
Dari sekian penjabaran yang telah di katakana di dalam kitab ini menyatakan Parama Shiva tattwa yang begitu detail walaupun sebenarnya tidak ada yang bisa untuk menjabarkan secara sepenuhnya sifat dan keagungan dari Tuhan yang seutuhnya. Kata yang mengahiri dari sloka ini adalah etam brahmani atau demikian wujud dari alam Brahman yang menyatakan alam tertinggi Brahman (Tuhan) yaitu Parama Shiva sendiri. Sedangkan dilontar lainya juga menjelaskan tentang ke agungan dari Parama Shiva tattwa yang terdapat pada lontar Wrhaspati tattwa dimana menyatakan Iswara berada di mana-mana dan pada intinya beliau meliputi segalanya dan tidak terbatas apapun baik itu tempat maupun ruang dan waktu

Wrhaspati Tattwa sloka 7-10:
Aprameya bhatara, tan pangen-angenan, apa hetu, ri kadadinyan ananta, tan pahingan, anirdesyam, tan patuduhan, ri kadadinyan tan palaksana, anaupamyam, tatan papada, ri kadadinyan tan hana pada nira juga, anamayam, tatan keneng lara, ri kadadinyan alilang, suksma ta sira sarwagata, kehibekan tikang rat denira, sahananya kabeh, nityomideng sadakala, ri kadadinya n tan pasangkan, dhruwam, menget ta sira, ri kadadinyan tan polah, umideng, sadakala, awyayam, tatan palwang, ri kadadinyan pariprna, Isvara ta sira, Isvara ngaranya ri kadadinya n prabhu ta sira, sira ta pramana tan kapramanan, nihan yang paramasivatattva ngaranya.
Nihan yang sadasivatattva ngaranya, I sor ning paramasivatattva.

Terjemahan:
Iswara tidak dapat di ukur, tidak berciri, tidak dapat dibandingkan, tidak tercemar, tidak tampak, ada dimana-mana, abadi, tetap, tidak berkurang (sloka 7). Ia tidak dapat diukur dalam arti tanpa akhir. Ia tidak berciri karena ia tidak mempunyai ciri. Ia tidak dapat dibandingkan, karena tidak ada yang lain seperti Dia. Ia tidak tercemar, karena ia tidak bernoda (sloka 8).
Ia tidak tampak karena ia tidak bisa dilihat. Ia ada di mana-mana, karena ia ada dalam segala benda. Ia abadi karena ia tidak berbentuk. Ia tetap karena ia tidak bergerak (sloka 9).
Ia tidak berkurang karena ia tetap utuh. Ia tetap tenang Sivatattwa ini meliputi seluruhnya (sloka 10)
Tuhan tidak dapat dibayangkan, Apremaya. Karena bersifat ananta yaitu tidak terbatas. Anirdesyam berarti tidak dapat diberi batasan karena ia mempunyai ciri. Anaupamya artinya tidak dapat dibandingkan, karena tidak ada yang menyamainya. Anamaya artinya tidak terkena penyakit atau sakit karena Ia suci. Ia Suksma karena Ia tidak dilihat. Ia Sarwagata karena Ia ada dalam segalanya, Ia memenuhi seluruh jagat raya.  Ia Dhruva yaitu kokoh, karena Ia tidak bergerak, tetap stabil. Ia Avyaya yaitu Ia tidak pernah berkurang, karena Ia selalu utuh. Ia adalah Iswara. Ia disebut Iswara karena ia sebagai guru. Ia mengatur seluruhnya, namun tidak di atur (oleh siapa-siapa). Inilah yang dinamakan Paramasiwa Tattwa. Sekarang kujelaskan apa yang disebut Sadasiwa Tattwa yang lebih rendah daripada Paramasiwa Tattwa.

Tuhan dalam konsep Parama Shiva tattwa merupakan konsep yang menyatakan alam tertinggi dan merupakan Tuhan yang trasedental atau menyeluruh dan tidak terbayangkan oleh pikiran. Namun orang –orang terdahulu berusaha menjabarkanya sekaligus membuatkan alat atau sarana untuk membayangkan beliau dengan berbagaicara! Salah satunya sebagai alat kosentrasi dalam penghubunganya yaitu dalam bentuk wujud Shiva Lingam itu sendiri. Dimana Shiwa Linggam adalah Konsep yang paling baik untuk menyatakan ketuhanan dan lengkap dengan konsep alam yang ada. Selain itu alat kosentrasi yang lainya di pakai adalah wujud dari beliau sendiri sebagai Shiva yang berupa arca Shiva dan selain itu di daerah lain seperti India mempergunakan Yantra yang terbuat dari berbagai jenis bahan berharga yang di yakini memiliki daya magis tertentu seperti emes, tembaga atau perunggu. Selain arca Shiva Linggam dan arca Shiva juga yang dipakai adalah gambar rupa dari dewa Shiva sebagai alat kosentrasi kepada Tuhan yang memiliki wujud. Akan tetapi di beberapa konsep yoga Tantra yang salah satunya adalah kitab Shiva Samhita terdapat penjelasan tentang alat kosentrasi yang berbeda yaitu melalui cakra-cakra tententu di dalam tubuh dan di dalamnya juga menyatakan adanya Shiva Lingam pada tubuh yaitu pada bagian tulang belakang dan Yoni pada bagian rongga dubur. Jika diBali untuk menghubungkan diri melalui kosentrasi secara umumnya di gunakan sebuah serana yang sudah jelas berupa candi di dalam pura-pura yang sudah memiliki konsep tertentu di dalamnya. Selain itu beberapa praktisi spiritual menjelaskan, yang di katakan di India sebagai yantra yang terbuat dari berbagai bahan padat seperti logam diBali juga memilikinya seperti halnya sebuah banten dan gambar rerajahan, dimana hal ini berhubungan dengan tantra dan mantra.
Penjabaran Tuhan Parama Shiva yang ada pada sloka-sloka lontar Lokal juga berhubungan seperti Bhagavad giitaa, beliau dikatakan tanpa atribut.

Di dalam kitab suci Bhagavad Giitaa XII; 14
Sarvatah paaniipaadam tat sarvatoo-‘kshi shiroo-mukham. Sarvatah shrutimal-lookee sarvam aavrtya tishthati.
 (Dengan tangan, kaki, mata, kepala, mulut, dan telinga ada di mana-mana, Tuhan meliputi dan meresapi seluruh alam semesta).
Sloka ini menyatakan keadaran Shiva yang meliputi semuanya dan seperti yang di jelaskan di awal buku ini Shiva adalah keasadaran yang meliputi segala mahluk.  Yang meliputi semua mahluk ini merupakan inti dari Shiva tattwa. Tattwa berarti kebenaran, kenyataan, sebenarnya, sesungguhnya, sungguh-sungguh, hakekat, atau sifat kodrati. Yang meliputi dan meresapi semua mahluk dan seisi alam semesta mengacu kepada pilsafat yaitu “sarvam shivamayam” (segala sesuatu yang kau saksikan di dunia yang kasat mata ini adalah perwujudan Shiva).
Sekarangkita jelaskan Sada Shiva Tattwa. 

Tattwa ini terdapat juga pada Whrespati Tattwa sloka 11 sampai dengan sloka 13:
 Sawyaparah, bhatara sadasiva sira, hana padmasana pinaka palungguhanira, aparan ikang padmasana ngaranya sakti nira, sakti ngaranya, vibhusakti, prabhusakti, jnanasakti, kriyasakti, nahan yang cadusakti.
(Sadasiwa aktif, berguna, bersinar, terdiri dari unsur kesadaran, mempunyai kedudukan dan sifta-sifat. Ia memenuhi segalanya. Ia di puja karena tanpa bentuk (sloka 11). Ia maha pencipta, pelebur, pengasih, bersinar, abadi, maha tahu, dan ada di mana-mana (sloka 12).Bagi orang yang tak punya tempat berlindung, Ia merupakan saudara, ibu dan ayah. Ia merupakan penawar dari segala rasa sakit dan membebaskan manusia dari ikatan lahir. (sloka 13) Padmasana sebagai tempat duduk Beliau, sakti-Nya meliputi: Wibhu Sakti, Prabhu Sakti, Jnana Sakti dan Kriya Sakti. Disebut Cadu Sakti yaitu empat kemahakuasaan Sang Hyang Widhi).

Pada Shiva Lingam terdapat delapan guratan atau segi delapan, terkadang disimbolkan delapan teratai dan delapan lingam kecil sebagai symbol Sada Shiva. Simbol bunga teratai berjumblah delapan terdapat di Pura Goa Gajah, dan simbol delapan Linga kecil di Pura Gumang, keduanya di kab. Gianyar, Bali.  Penjelasam dari delapan teratai telah di jelaskan d atas yang di mana Sada Shiva memiliki kemahaakuasaan atau kemahaadaan sebagai Astaiswara. Sedangkan penjelasan mengenai astaisvara lebih lanjutnya terdapat pada kutipan  Sudarsana Dewi yaitu :
Susuksmo wai yatha dehah athulam tyaktwa yathecchaya,
Animan tri sariranca yati tenocyatenima, Awak nira ikang aganal, yateka matemaham malit, Alit ngaranya wenang umajnani ikang ajnana, Masuk metu kadi raray masiluruping wwai, Yeka anima ngaranya. (Sudarshana Devi, 67, hal 68).
Artinya:
Badannya yang besar, jika dikehendaki dapat menjadi kecil sekecil-kecilnya, demikian yang disebut Anima. Badannya yang besar itu dapat menjadi kecil, kecil itu maksudnya bahwa dia dapat menjadi tidak tahunya orang yang bodoh, akankeluar masuk-nya, bagaikan bayi yang berkecimpung dalam air, itulah   yang disebut Anima.

Purwam asit gurutwam yat tat tyaktwa mahasaiwa tu,tulawallaghu dehah syat swecchaya laghima tatha.abwat nikawak nira ri tambayanya, wekasan hadangan kadi kapuk.asing saparanira, yang maring swarga, maring sapta dwipa,mareng sapta patala, dadi kumulilingi hengning anda bhuwana,wisata sakanyun ira pinaran ira, yeka laghima ngaranya.
(Sudarshana Devi, 68 hal 68).
Artinya:
Berat badannya semula, seketika bisa hilang jika dikehendaki, menjadi ringan seperti kapuk, demikianlah yang disebut Laghima. Berat badannya yang semula itu, kemudian dapat menjadi ringan seperti kapuk, segala yang ditujunya, jika ke sorga, ketujuh benua, ketujuh lapisan tanah, dan sukses dalam mengelilingi lingkaran luar alam semesta, serta tercapai dengan baik segala yang ditujunya, itulah yang dinamakan Laghima.

Nihan tang mahima ngarabya: Yatraiwa swecchaya gacchet tatra tat swecchawasitam,sarwatah pujyate yasman mahima tena procayate,umahas sira ring desantara, pihuja sira sinembah wineh sarwa bhoga, wineh bojana, apan aprabhrti, yeka mahimangarayanya (Sudarshana Devi, 69, hal 69).
  Artinya:
 Inilah yang disebut Mahima, kemana saja hendak pergi, disana juga ia senang berdiam, karena selalu dimuliakan di segala tempat, itulah yang dimaksud Mahima. Berkunjung beliau ke antar daerah, beliau selalu dipuja, dimuliakan dan dipersembahkan aneka macam sesajen dan kenikmatan, oleh karena senantiasa diutamakan, begitulah yang disebut Mahima.

Asit tasmat wilasewa adhiwastu gatah bhawet, nikhila drawya sampraptyai praptir namatra sarwatah, asing sakahyun ira, irikang sarwa wastu teke juga tan Pinet tan pininta, maka phala sukha ri sira, Irika ta yan bhukti ikang sukna, sangka ri gya niran hentay Phalaning karma, wisata sira, tan kabadha dening phalan ikang gawe hayu, yeka prapti ngaranya (Sudarshana Devi, 70, hal 69).
  Artinya:
Segala sesuatu yang telah diingini, seketika ada dengan semestinya, itulah yang dimaksud dengan Prapti. Segala yang dikehendakinya, semuanya itu datang juga dengan sendirinya, tanpa diharap dan diminta hingga dapat menyenangkan dirinya. Bila menikmati kesenangan, oleh karena kebijaksanaannya maka tidaklah terikat dengan hasil perbuatan, sentosalah dia, sebab tidak ada yang memadainya dalam hal berbuat baik. Itulah yang disebut Prapti.

Atmanaiwa krtam rupam praptam syattu yadatmana, yateccham yakrtam rupam pramyam samudahrtam. asing sakahyun ira rupan ira, yang hyang, yan manusa,yan tiryak, kapwa ikan dadin ira, pinaka temahan ira,yeka prakamya ngaranya. (Sudarshana Devi, 71, hal 69).
 Artinya:
Segala sesuatu bentuk yang terbayang dalam keinginannya, juga akan tercapai olehnya, seperti apa yang terwujud dalam pikirannya itu, demikianlah yang disebut Prakamya. Segala wujud yang diinginkannya, berupa dewa, manusia atau berupa binatang, pasti juga demikianlah manifestasinya, itulah yang disebut Prakamya.

Brahma wisnwindra-suryasya bhuwana yadyati sada, dewanukula bhaktyartnam isitwam namehocyate. yapwan lumaku mameng-ameng mareng kanyangan, wenang  Siran umadeh sanghyang Brahma, Wisnu, Indra, Surya ri kahyangan  Ira, nguniweh ikang watek dewata kaben, apan bhatara mahulun Nana ri sang yogiswara, ya ta matangyan wenang pramana irikang Dewata kabeh, yeka isitwa ngaranya. (Sudarshana Devi, 72, hal 70).
Artinya:
Dia selalu dapat keluar masuk kahyangan dari dewa Brahman, Wisnu, Indra, dan Surya, karena semua dewa-dewa itu tunduk dan bhakti kepadanya. Itulah yang disebut Isitwa. Jika pergi berjalan-jalan ke kahyangan, dia dapat menundukkan dewa Brahma, Wisnu, Indra dan Surya di kahyangannya, apalagi dewa-dewa yang lainnya, sebab sifat pelindung dan penguasa hanya ada pada Tuhan, itulah sebabnya maka dia dapat memerintah para dewa-dewa semua.

Yatraiwa yad wasitwam syad wasitwad yatrakamata. Wenang siromuts ikang dewata kaben, dumwanya ri lwiranya, Apan sira maka drewya ikang rat kabeh, Yapwan tan pamituhuri sira, yeka wasistwa ngaranya. (Sudarshana Devi, 73, hal 70).

Artinya:
Berhubung beliau bersifat mahakuasa, dengan kemahakuasaannya itulah tercapai segala yang dikehendaki. Beliau dapat memerintah semua dewa-dewa, serta dihukumnya masing-masing apabila tidak menuruti perintahnya, sebab beliaulah penguasa alam semesta ini, demikianlah yang disebut Wasitwa.
Dehena yatum icchasyad yatrakamawasayitwam. irika ta siran mangka tawak nira, dumanda ikang dewa, manusa, tiryak, asing langghana ri sira, yeka yatrakamawasayitwam. (Sudarshana Devi, 74, hal 70).
Artinya:
Yatrakamawasayitwam adalah kehendak untuk pergi dengan wujud tertentu. Disanalah beliau seketika mengambil suatu bentuk tertentu guna menghukum dewa-dewa, manusia, binatang, dan segala yang durhaka padanya.
 Di bawah itu (Sada Shiva) beralaskan segi empat pada bagian Linggam yang di sebut dengan Shiwaatma dengan symbol empat ini sebagai cadu Shakti. Wibhu sakti berarti kemahakuasaan beliau yang ada di mana-mana. Prabhu sakti yang artinya beliau adalah yang maha kuasa. Jnana sakti atrinya beliau maha mengetahui dan yang terahir kriya sakti yang artinya beliau adalah maha karya. Di bawah dari Shivaatma adalah Yoni sebagai penyatuan Shiva dan Shakti. Adapun penjelasan dari konsep Shiwaatma ini adalah :

I sor nikang sadasiwa tattwa mayasira tattwa ngaranya, unggwan sanghyang astawidnyansana, ananta suksma, siwatama, ekarudra, ekanetra, trimurti, srikantha, srikhandi, Sanghyang Ananta sira kinon Bhatara umyapaka ikang bhuwana lawan jadat, api tuwi manglepasaken atma wyapara waneh, yapwan huwus wyapara pakon bhatara, irika ta yan mokta sanghyang ananta, sanghyang suksma gumanti ananta, siwatama gumanti suksma, ekarudra gumanti siwatama, ekanetra gumanti ekarudra, trimurti gumanti ekanetra, srikantha gumanti trimurti, srikhandi gumanti srikantha. Nahan yang mayasira tattwa ngaranya. (Sudarshana Dewi, 14 hal 39-40).
Artinya:
Dibawah Sadasiwa Tattwa mayasira Tattwa namanya, tempat Sanghyang Astawidyasana (delapan tempat pengetahuan), yaitu Ananta, Suksma, Siwatama, Ekarudra, Ekanetra, Trimurti, Srikantha, Sikhandi. Sanghyang Ananta dititahkan oleh Tuhan untuk meresapi alam dan dunia, dan juga untuk membebaskan atman yang sengsara, jika telah selesai menikmati penderitaan sesuai dengan perintah Tuhan. Pada saat itulah Sanghyang Ananta kembali, Sanghyang Suksma menggantikan Ananta (selanjutnya) Siwatama menggantikan Suksma, Ekarudra menggantikan Siwatama, Ekanetra menggantikan Ekarudra, Trimurti menggantikan Ekanetra, Srikantha menggantikan Trimurti, Sikhandi menggantikan Srikhanta. Itulah yang disebut Mayasira Tattwa.

Mari pweka siwa tattwa sarwajna sarwakarya karta, ya ta sinangguh atma ngaranya, cetana lengeng lengeng ngaranya, yata matangyan sesok tang maya tattwa, kadyangganing umahning tawwan, ikang atma yangken anakning tawwan, adnomukha tumungkul. Ngaranya mulat i sor juga tikang atma, tan weruh irikang tattwa i ruhurnya (Sudarsana Dewi, 14 hal 40).

Artinya :
Jika Siwatattwa itu tidak lagi mahatahu dan mahakarya maka disebut atma yaitu cetana yang telah kena lupa. Banyaklah adanya atma itu, sehingga terpenuhi olehnya mayatattwa, seperti sarang lebah yang tersusun bertingkat-tingkat. Mayatattwa itu seumpama sarangnya lebah, doyan merunduk, selalu menghadap kebawah dan tidak mengetahui tentang keadaan di atasnya.
Pada bagian Shivaatma ini keadaan sudah mulai mengalami perubahan yang di mana Tuhan sudah meresap pada setiap ciptaaNya sendiri. Keadaan ini telah terpengaruh oleh maya atau ketidaknyataan. Hal ini dijelaskan pada sloka di atas bahwasanya bagian itu di antaranya adalah ananta (tak berbatas, kekal, tak berujung), sūkṣma (halus, kecil, tetap, atom), śivatama (paling beruntung atau menguntungkan), ekarudra (satu Rudra), ekanetra (memiliki/bermata satu), trimūrti (yang memiliki tiga wujud brahma, wisnu, dan isvara), śrīkaṇṭha (yang tenggoronkanya indah), dan śikhaṇḍī (seperti bunga Yasmin kuning). Ke delapan simbol ini di artikan sebagai simbol pengetahaun. Kembali pada penjelasan Shivaatma, kesadaran dari Shivaatma di katakan selalu merunduk dan tidak mengetahui keadaan dia artasnya. Hal ini berarti terpengaruhnya kesadaran jiwa keadaan duniawi sehingga terpengaruh oleh keadaan maya. Di dalam Shiva Samhita adijelaskan pada sloka 42-43 ,bagian jiivaatmaa :
tatah karma balaat pumsah sukham vaa dukham eva ca, paapo parakta caitanyam naiva tisthati nishcitam. na tad bhinno bhavetso’pi tad bhinno na tu kincana, maayo pahita caitanyaat sarvam vastu prajaayate.
(dalam perimbangan terhadap kekuatan karma-nya, manusia menederita kesengsaraan  atau menikmati kesengangan. Jiva yang telah menimbulkan kelebihan kejahatan, tidak pernah tenang dalam damai- yang tak terpisah dalam karma-nya; selain karma tidak ada hal lain di dunia ini. Dari kecerdasan yang di selubungi maayaa, segala sesuatunya di kembangkan).
yathaa kaalepi bhogaaya jantuunaam vividhod bhavah, yathaa dosavashaac chuktau rajataaropanam bhavet. tatha svakarma doshaadvai brahmanyaaropyate jagat.
“Karena dalam suasana yang tepat bermacam-macam ciptaan lahir untuk menikmati akibat dari karma mereka; seperti anggapan salah tentang sebuah kerang mutiara sebagai perak, demikian pula melalui cacat karman-nya, maka seorang manusia mengelirukan Brahman sebagai materi alam semesta”.
Keadaan dimana maayaa telah menguasai seseorang maka pengetahuan kesujatian yang tertinggi yaitu Brahman hilang. Di sini penyadaran adanya Sang atma di dalam diri mestilah di munculkan. Dari keadaan kesadaran adanya atma di dalam diri yang telah muncul maka tak mustahil untuk bisa mengetahui adanya atma yang sama di dalam diri individu lain.
Pembelajaran demi pembelajaran mesti di pelajari dan di praktikan secara berkala dan tepat. Mungkin ini yang lebih tepat untuk di katakan kepada diri sendiri dengan terus berusaha demi tercapainya tujuan pengetahuan diri. Di dalam beberapa ritual upacara Veda seperti Agnihotra dan Tarpana yaitu upacara api dan persembahan air dan makanan sering di awal di cantumkan dengan saṅkalpaṃ atau saṅkalpa yang artinya pengambilan keputusan atau kemauan dan keyakinan. Di dalam hal ini mesti di ilhami secara mendalam yang mana di lakukan berdasarkan keyakinan yang mantap sehingga yang menjadi tujuan dikerjakan sampai selesai. Pembelajaran lebih lanjut tentang kesadaran Shiva dapat di lihat dari lantunan lagu dengan bahasa Jawa Kuno yang sebenarnya lebih mengarah kepada pujian dan doa ke pada Tuhan sang pencipta. Kekawin Arjuna Wiwaha ini mengajarkan penyucian kepada diri sendiri untuk menemukan jati diri itu sendiri sehingga kesadaran Sarvam Shiva Mayam (semua yang dilihat dan ada di dunia ini adalah perwujudan kesadaran atau shiva) terwujud.
Pupuh 10 - Mṛdukomala
oṃ sambahning anātha tinghalana de Trilokaśaraṇa,wāhyâdhyātmika sambahi nghulun i jöngta tan hana waneh,sang lwir agni sakêng tahĕn kadi miñak sakêng dadhi kita, sang sākṣāt mĕtu yan hana wwang amutĕr tutur pinahayu
byāpi-byāpaka sārining paramatattwa durlabha kita,icchānta n hana tan hanâgamal alit lawan halahayu,utpatti sthiti linaning dadi kitâta kāraṇanika, sang sangkan-paraning sarāt sakala-niṣkalātmaka kita
"Om, sembah hamba yang tak memiliki raja, mohon dipandang oleh Sang Pelindung Triloka.Lahir batin sembah hamba di hadapan kaki-Mu tiada lain. Engkaulah sang bagaikan api dari kayu, bagaikan mentega dari susu. Yang bagaikan timbul jika ada orang mengaduk kesadaran dengan tutur kebajikan.
Engkau meresapi dan meliputi segalanya, inti sari Keituan Tertinggi, yang sulit dicapai.Sesuai kehendak-Mulah ada dan tiada, kasar dan halus, serta buruk dan baik. Lahir, lestari dan lenyapnya semua yang ada, Engkaulah Penyebabnya. Engkaulah Sang Asal dan Tujuan Sedunia, sang inti sari alam yang tampak dan tak tampak.
Pupuh 11 - Toṭaka
śaśiwimba hanêng ghaṭa mesi bañu,ndan asing śuci nirmala mesi wulan,iwa mangkana rakwa kitêng kadadin,ring angambĕki yoga kitêng sakala
katĕmunta marêka si tan katĕmu,kahiḍĕpta marêka si tan kahiḍĕp,kawĕnangta marêka si tan kawĕnang,Paramārthaśiwâstunirāwaraṇa
Wujud bulan ada di dalam jambangan yang berisi air. Maka setiap yang jernih tak bernoda berisi bulan. Demikian pula keadannya, Engkau hadir dalam segala yang ada.Bagi dia yang mengusahakan yoga Engkau berada di alam yang terlihat.
Ditemukanlah oleh-Mu apa yang tak ditemukan.Terpikirlah oleh-Mu apa yang tak terpikirkan.Terkuasailah oleh-Mu apa yang tak terkuasai.Sang Siwa Yang Utama, terjadilah tanpa tirai penyekat."
sang lwir agni sakêng tahĕn kadi miñak sakêng dadhi kita yang artinya Engkaulah sang bagaikan api dari kayu, bagaikan mentega dari susu. Kata sang mengacu kepada keTuhanan, sedangkan istilah bagaikan api dari kayu dan mentega dari susu merupakan pernyataan inti dari sesuatu yaitu Shiva sebagai kesadaran yang meliputi segalanya atau Shivatma. Panas dari api adalah intinya, mentega adalah kejernihan yang merupakan inti pikiran terkendali yang melalui berbagai proses pengendalian. sang sangkan-paraning sarāt sakala-niṣkalātmaka kita yang artinya Engkaulah Sang Asal dan Tujuan Sedunia, sang inti sari alam yang tampak dan tak tampak. Pernyataan ini menyatakan Niskala dan sakala adalah dua bagian yang ada di dalam ciptaan dimana alam duniawi dan alam tak nampak di penuhi oleh berbagai mahluk cipataan Tuhan. Telah di nyatakan sebelumnya diatas bahwa dialah sebagai tujuan utama dan kembali di nyatakan sebagai inti. Jadi pikiran lain dan keraguan harus di hilangkan dan pusatkan pikiran kepada beliau dan yakini pencapaian yang terindah segera tiba. ndan asing śuci nirmala mesi wulan, iwa mangkana rakwa kitêng kadadin yang artinya Maka setiap yang jernih tak bernoda berisi bulan. Demikian pula keadannya, Engkau hadir dalam segala yang ada. Kembali kejernihan itu di sebutkan secara nyata dengan mengibaratkan bayangan bulan yang ada di dalam air yang jernih. Apabila kekotoran pikiran terus saja ada maka sungguh sulit menemukan hal ini sehingga maya yang disebutkan dalam tattwa yaitu Shivatma tattwa terus merunduk atau tenggelam dalam keadaan kebodohan atau kegelapan/avidya dan bukan sebaliknya yaitu menemukan vidya yaitu penerangan yang merupakan tujuan utama dari setiap individu.
Tentang pemblajaran untuk menemukan jati diri dari manusia Srii Shatya Sai Baba pernah bersabda 23-11-2005, Prashanti Nilayam,Hill View Stadium. “kita terus menerus bertanya kepada orang lain “siapakah anda? Namun, kita tidak berusaha menyelidiki dirisendiri “ siapakah aku?” Disinilah letak kesalahanya. Kalau engkau sudah menyadari siapa dirimu yang sebenarnya, engkau akan bebas dari kesedihan,penderitaan dan kesulitan untuk selamanya. Karena itu yang pertama dan terpenting, engkau harus berusaha menyadari identitas dirimu yang sejati. Apa gunanya mengetahui segala sesuatu tanpa mengetahui dirimu yang sesungguhnya?”
Lebih lanjut belaiu menjelaskan “jangan menyamakan dirimu dengan tubuh. Engkau adalah perwujudan atma.”
(Buku Sabda Satya Sai Jilid 38 hal.281).
Di dalam salah satu bait Shivopasana Mantra di nyatakan Isvharah sarva bhuutanam (Tuhan/isvara bersemayam dalam setiap mahluk). Bait ini menyatakan Tuhan mengambil perwujudan sebagai semua yang ada. Dan ini merupakan kebenaran yang mutlak dan tidak bisa di pungkiri siapapun. Penjabaran dari keTuhanan Shiva ini juga terdapat dalam Lontar Bhuana Kosa yang menyatakan kebenaran dan nama-nama dari Tuhan Shiva:
Dalam Buana Kosa, II. 18
 “Sang hyang Apuy hanerikang kayu-kayu, andatan katon, makanimitra suksmanira, yatha, kadyangganing akasa, mangkana ta Bhatara Mahadewa, an hana ring sarwa mawak, ndatar kapangguh sira, makanimitta ng suksmanira”.
(Api itu ada pada kayu, namun tidak kelihatan, karena halusnya, ibarat angkasa. Demikianlah Sanghyang Mahadewa, hadir pada semua yang berwujud, tetapi tidak tampak, karena halusnya).

Om shanty,shanty,shant Om.

0 Response to " Konsep Shiva Lingam ( Tri Purusa). "

http://adf.ly/1bLNXQ [URL=http://www.flagcounter.me/details/l0][IMG]http://www.flagcounter.me/l0/[/IMG][/URL]http://www.flagcounter.me/l0/